Minggu, 14 September 2008

PEREMPUAN : PEMBERDAYAAN VS PEMERDAYAAN


oleh Rita Rif'ati, SST

(Kasie Statistik Kependudukan BPS Prov. Jambi)


Perempuan pada dasarnya merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai harkat, derajat, dan martabat yang sama dengan laki-laki pada umumnya. Laksana dihadapkan pada sebuah cermin, mari kita berkaca: tentang nasib perempuan-perempuan kita. Ada dimana posisinya saat ini? Ketika kita berbicara tentang perempuan maka kita sedang membicarakan manusia yang telah mengandung, melahirkan dan membesarkan kita, sesungguhnya ketika kita bicara tentang perempuan maka kita juga membicarakan hampir separuh potensi penduduk yang bisa jadi mereka adalah saudara kita, tetangga kita, bahkan diri kita sendiri. Dari sudut mana kita akan menempatkannya?

Perempuan adalah aset, salah satu modal pembangunan yang cukup strategis. Akan seperti apa wajah generasi kita dibentuk, kita bisa mencari jawabannya dari wajah kaum perempuan kita. Keniscayaan ini tentu saja bisa dijelaskan dengan jawaban sederhana, sehatnya anak yang dilahirkan tentu saja sangat bergantung dari kondisi kesehatan ibunya, tumbuh kembang anak juga sangat dipengaruhi latar belakang pengetahuan ibu, belum lagi jika kita berbicara tentang penanaman moral dan nilai keagamaan pada anak. Maka tidak salah jika dikatakan bahwa wanita adalah tiang negara. Jika demikian keadaannya lantas apa yang terbayang dalam ingatan kita ketika diberitakan Dg Besse (35 tahun) warga Jl. Dg Tata I Blok 4 Makassar meninggal dunia bersama bayi yang dikandungnya (Jum’at, 29/2) setelah 3 hari kelaparan. Anak Basse yang lain, Bahir (7 tahun) juga meninggal, Aco (4 tahun) nyaris mengalami nasib yang sama jika tidak cepat dilarikan ke RS haji. Bisa jadi jiwa kemanusiaan kita serasa tercabik, bisa jadi juga kita menanggapinya dengan dingin karena telah terkikisnya rasa sensitifitas akibat menjamurnya kejadian serupa di sekitar kita dengan wujud yang lain.

Data berbicara bahwa dari total penduduk Jambi, sebanyak 49,12 persennya adalah perempuan namun potensi itu belum tergarap secara sempurna. Jika gambaran umum tingkat kecerdasan penduduk suatu wilayah ditunjukkan oleh kemampuan baca tulisnya, baru sekitar 93,11 persen perempuan di Jambi yang bebas buta huruf. Pendidikan kaum perempuan juga masih jauh dari kondisi ideal yang diharapkan. Hampir sebagian besar perempuan berpendidikan SD ke bawah atau sebanyak 63,34 persen dan hanya 3,52 persen saja yang dapat mengenyam pendidikan sampai Perguruan Tinggi (Susenas BPS, 2006). Minimnya pendidikan perempuan ini tentu saja berdampak luas. Alih-alih posisi perempuan diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusan, minimnya pengetahuan telah menempatkan perempuan dalam posisi ‘tidak berdaya’.

Berdasarkan data Survei Kekerasan Terhadap Perempuan/Anak Tahun 2006 yang dilakukan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan & BPS) secara nasional telah terjadi 3 juta tindak kekerasan dan sekitar 2,27 juta perempuan pernah menjadi korbannya. Oleh sebagian masyarakat, tindak kekerasan dalam rumah tangga dipandang sebagai hal yang lumrah terjadi terutama dalam rumah tangga dimana pihak pelaku kekerasan pada umumnya sangat dominan dalam pengambilan keputusan. Di sisi lain kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga masih dipahami sebagai bentuk tindakan dalam mendidik perempuan. Angka korban tindak kekerasan di Jambi sendiri mencapai 6,44 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan angka nasional yang hanya mencapai 3,1 persen. Tindak kekerasan ini meliputi penghinaan (5,09 persen), penganiayaan (2,3 persen), sisanya pelecehan dan penelantaran. Dari sejumlah korban tindak kekerasan tersebut sekitar 60,77 persennya adalah mereka yang berpendidikan rendah serta sekitar 82,12 persennya berasal dari keluarga yang berpenghasilan rendah. Ironisnya, pelaku kekerasan terhadap perempuan adalah orang ‘dekat’ dengan korban. Sebanyak 55,1 persen tindak kekerasan dilakukan oleh suami/pasangan, orang yang semestinya menjadi tempat perlindungan, tempat mengadu, tempat menumpahkan perasaan, tempat mendapatkan keamanan dan kasih sayang.

Dalam hal kesetaraan dengan laki-laki, masih terlihat ketimpangan kemajuan yang dicapai oleh perempuan dibanding dengan laki-laki. Angka Indeks Pembangunan Gender (IPG) Jambi, berada pada kisaran 59,6 persen (UNDP, 2005). Jika disejajarkan dengan Human Development Indeks (HDI) Jambi di tahun yang sama berkisar 71,0 persen, masih memperlihatkan ketimpangan atau selisih. Kedua ukuran ini dikembangkan oleh UNDP dan menggambarkan kualitas hidup manusia serta merupakan Indeks Komposit yang terdiri dari sejumlah komponen/variabel. HDI mengukur tingkat pencapaian upaya pembangunan secara keseluruhan, sedangkan IPG mengukur hal yang sama tetapi dengan memperhatikan Disparitas Gender. Adanya perbedaan pada kedua indikator ini merupakan sebuah pertanda masih adanya bias atau ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam meraih kemajuannya. Variabel penyusun HDI dan IPG antara lain adalah Angka Harapan Hidup (AHH), dimana diketahui capaian angka harapan hidup penduduk Jambi sebesar 68,1 tahun, sedangkan harapan hidup perempuan Jambi sebesar 70,2 tahun. Selain AHH, variabel penyusun IPG adalah Angka Melek Huruf (AMH) serta rata-rata lama sekolah. Capaian angka melek huruf perempuan Jambi lima persen lebih rendah dibanding laki-laki. Rata-rata lama sekolah penduduk perempuan berada pada kisaran 7 tahun, atau satu tahun lebih rendah dibanding penduduk laki-laki.

Keterlibatan dan tingkat partisipasi perempuan dalam pengambilan kebijakan di bidang ekonomi, politik, kekuasaan digambarkan dengan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). IDG Jambi tahun 2005 sebesar 55,7 persen atau berada pada peringkat ke-17 se Indonesia. Capaian indeks ini berasal dari beberapa variabel diantaranya diketahui bahwa sebanyak 13,3 persen perempuan duduk di parlemen, ada 36,8 persen perempuan pekerja profesional, teknisi dan ketatalaksanaan, serta 31,4 persen perempuan terlibat sebagai angkatan kerja.

Dalam wajah yang lain perempuan ditempatkan sebagai obyek eksploitasi. Tingginya korban trafficking adalah salah satu buktinya, selain juga fenomena underground economy yang salah satu faktanya menyebutkan omzet dari sekitar 70.000 WTS dan perilaku prostitusi di negeri ini hampir mencapai 9 trilyun rupiah per tahun (data sebelum krisis 1997). Jika Danielle Lloyd (model pakaian dalam) dengan sukarela mengasuransikan tubuh moleknya dengan harga 2 juta pound atau sekitar 126 juta rupiah, apa namanya jika bukan eksploitasi? Kita juga punya fakta yang lagi-lagi berbicara bahwa perempuan adalah aset berharga, ada sebanyak 4.200.000 situs porno dunia dan 100.000 situs porno di Indonesia (Taufik Ismail di TIM). Tidak hanya itu, sebanyak 12 persen situs di dunia mengandung pornografi, 372 juta halaman website pornografi dan 25 persen yang dicari melalui search engine adalah pornografi. Setiap detik 28.258 pengguna internet melihat pornografi dan setiap hari 266 situs porno baru muncul. Oleh karenanya kita menyambut gembira dengan disahkannya RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada rapat paripurna DPR/MPR (selasa, 25/3). Dalam sebuah pasalnya (Pasal 27) disebutkan denda 1 milyar dan 6 tahun penjara bagi orang yang membuat, mendistribusikan, mentransmisikan materi yang melanggar kesusilaan, judi, menghina dan mencemari nama baik, memeras serta mengancam.

Kesepakatan global dalam Millenium Development Goals (MDGs) yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target, 48 indikator menyatakan bahwa setiap negara berkembang harus mampu menurunkan kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak, menurunkan HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lain, memastikan keberlanjutan lingkungan hidup serta mengembangkan kerjasama global untuk pembangunan.Peliknya permasalahan perempuan dan anak adalah PR besar kita bersama, tidak dapat diselesaikan tanpa adanya kemauan dari perempuan untuk mengejar ketertinggalannya. Bagaimana kemudian perempuan dapat memposisikan dirinya untuk tidak selalu menjadi objek, apalagi pelengkap penderita. Selain juga dibutuhkan ketulusan niat, kerasnya kemauan dan usaha yang yang serius dari aktivis perempuan untuk menjadi gerbong dari kaumnya dalam mengejar ketertinggalannya. Jika perempuan tidak mau ambil bagian dalam mengejarnya, lantas siapa yang akan terlibat? sedangkan yang akan diperjuangkan disini adalah nasib perempuan itu sendiri.

Tidak ada komentar: